Untuk yang kedua kalinya saya dan keluarga berkunjung ke Rumah Makan Makanan Indonesia yang terletak di kawasan West End, atau tepatnya di Shop 4/ 59 Hardgrave Road, West End, Brisbane QLD 4101. Rumah makan yang sudah berdiri sejak delapan tahun yang lalu ini menyajikan aneka masakan dan minuman khas Indonesia. Selain makanannya enak, hidangan yang disajikan di sini juga dijamin halal.
Siang itu saya mencicipi menu ayam goreng Kalasan dengan nasi uduk, sementara isteri dan anak laki-laki saya memesan nasi goreng sapi. Anak perempuan saya memesan mie ayam pangsit goreng. Porsi yang disajikan cukup besar. Seperti ayam yang saya pesan, ukurannya kira-kira setengah ekor ayam yang dipotong menjadi dua bagian. Sepertinya memang porsi ini disesuaikan dengan “standar” porsi pria Indonesia. He..he..he….Demikian pula dengan nasi goreng yang dipesan oleh anak saya, porsinya lumayan besar dan mengenyangkan. Untuk minuman, kami mendapat air minum dingin gratis sepuasnya alias boleh diisi ulang. Sebagai tambahan, selain dua kaleng air minuman ringan bersoda yang merupakan satu paket dengan nasi goreng, kami juga memesan es kelapa muda.
Dari segi harga, makanan utama yang disajikan di sini memiliki kisaran harga AUD 10. Untuk makanan ringan, harganya di bawah kisaran tersebut. Jika dikonversi ke mata uang rupiah memang akan nampak mahal. Namun jika kita menggunakan standar harga di Brisbane, harga makanan di sini cukup kompetitif. Dengan ukuran porsi yang cukup besar, apa yang kita dapat sepadan dengan harga yang kita bayar. Perlu diketahui bahwa di Brisbane pada umumnya, yang membuat harga barang/jasa menjadi relatif tinggi (apalagi jika dibandingkan dengan di Indonesia) adalah komponen tenaga kerja/labor cost. Standar upah minimum di Brisbane (saya kurang tahu untuk wilayah lain di Australia) konon sekitar AUD 15/jam.
Selain makanan yang lezat, salah satu kelebihan yang diberikan oleh rumah makan ini adalah suasananya yang bersahabat. Salah satu penyebabnya barangkali karena rasa persaudaraan sebagai sesama orang Indonesia di perantauan. Pada kunjungan pertama, kami berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan pemilik rumah makan yaitu bapak Hans T Siahaan. Pak Hans tidak sungkan-sungkan terjun langsung melayani pembeli dengan mencatat pesanan makanan dan juga mengantar makanan yang dipesan pengunjung. Kami juga berkesempatan berbincang-bincang dengan chef di rumah makan ini yaitu pasangan suami-isteri pak Peter dan bu Yeni yang sudah bekerja di sini sejak awal rumah makan berdiri. Terkadang mereka menawarkan kepada kita untuk secara personal memesan makanan dengan variasi tertentu di luar yang tertulis di daftar menu.
Pada kunjungan kedua, selain bertemu dengan pak Peter dan bu Yeni, kami berkesempatan bertemu dengan pak William yang merupakan salah satu pendiri dan pemilik rumah makan ini (sebelum dialihkan kepada pak Hans). Pak William (yang hanya bisa sedikit berbicara dalam bahasa Indonesia), menyebut dirinya ABC alias “Australian-born Chinese”.
Seperti halnya pak Hans, pak William juga terjun langsung melayani pembeli dengan mencatat dan mengantar pesanan. Selain itu, pak William juga memperlihatkan kebolehannya bermain sulap sementara kami menunggu pesanan makanan tiba.
Karyawan yang bekerja di sini pada umumnya juga berasal dari Indonesia. Ada yang berstatus mahasiswa, ada juga yang pasangan/spouse dari mahasiswa. Seperti pada hari itu, kami bertemu dengan mbak Dewi, isteri dari rekan satu kampus saya, pak Gede yang juga sedang studi S 3 di QUT. Juga ada mas Yuanto yang sudah memasuki tahun terakhir kuliah under graduate di University of Queensland (UQ).
Pengunjung rumah makan ini tidak hanya orang Indonesia, tetapi juga orang-orang Australia yang barangkali pernah ke Indonesia dan/atau memang menyukai makanan khas Indonesia. Selain dapat dinikmati di tempat, makanan yang disajikan di sini dapat juga dibawa pulang/ take away.
Rumah makan ini berada di kompleks pertokoan yang memang merupakan kawasan wisata kuliner. Di kawasan ini terdapat aneka rumah makan termasuk yang menyajikan makanan dari Vietnam, Jepang, dan sebagainya. Dalam seminggu, rumah makan ini hanya tutup pada hari Senin. Untuk jam buka, hari Jumat, Sabtu dan Minggu buka non stop sejak jam 11.00 hingga 21.30. Untuk hari lain, jam buka adalah jam 11.00 – 14.30 untuk makan siang/lunch, dan jam 17.30 – 21.30 untuk makan malam/dinner.
Interior rumah makan dihiasi dengan aneka aksesori khas Indonesia seperti lukisan, wayang, dan kerajinan khas Indonesia lainnya. Pengunjung juga mendapat sajian lagu-lagu berbahasa Indonesia. Menurut pak William, setiap hari Selasa malam disajikan “live music” gratis dengan sajian lagu-lagu Indonesia maupun barat. Instrumen yang digunakan adalah keyboard dan gitar. Menurut pak William, pemain keyboard adalah pak Mono (orang Indonesia juga) yang sudah tampil di rumah makan ini sejak awal berdiri. Kadang-kadang pak Hans juga ikut menghibur pengunjung dengan permainan gitarnya.
Di salah satu dinding rumah makan, dipasang salinan berita sebuah surat kabar di Indonesia yang memberitakan secara khusus keberadaan rumah makan ini. Menurut pak William, selain wartawan majalah dan surat kabar, rumah makan ini juga sudah diliput oleh beberapa media televisi baik dari Indonesia maupun dari Australia. Salah satu chef di sini, yaitu pak Peter bahkan pernah bermain sebagai seorang hakim di film “Schapelle”, yaitu film yang berkisah tentang Schapelle Corby – seorang warga Gold Coast, Queensland – yang ditahan selama sembilan tahun di penjara Kerobokan, Bali dengan tuduhan menyelundupkan narkoba.
Sebagai salah satu alternative “pelepas rindu” kepada masakan khas Indonesia, menurut kami sekeluarga, rumah makan ini adalah pilihan yang tepat. Kami sudah mulai merancang, kira-kira menu apalagi yang akan kami pesan pada kunjungan berikutnya……nyam nyam nyam…
Nomor dua dari kiri adalah pak William. Nomor lima dan nomor enam dari kanan adalah pak Peter dan bu Yeni. Nomor tiga dari kanan adalah mbak Dewi.
Kutipan daftar menu yang disajikan di Rumah Makan Makanan Indonesia.